Cerita Berantai Rumbel Menulis IP Depok

Cerita sambung IIP Depok

1. 

https://shireishou.com/event-cerita-sambung-rumbel-menulis-iip-depok-part-1/

2. https://mamaharetuti.blogspot.com/2020/09/cerita-sambung-iip-depok-part-dua.html?m=0

Malam semakin larut, Tejo memutuskan untuk beranjak ke pembaringan. Niatnya untuk bicara pada Suti diurungkan. Ia tak tega melihat perempuan yang telah dinikahinya beberapa tahun lalu itu sedang menyibukkan diri membersihkan rumah mungil mereka. Setiap Tejo pulang, istri tercintanya akan mengambil kain pel, dan mengepel semua yang tadi dilalui Tejo ketika tiba di rumah.

Sambil berlalu ke kamar, ia embuskan napas secara kasar. Harus sampai kapan protokol yang memakan waktu ini dikerjakan? Selain membuang waktu, tentu saja kegiatan bersih-bersih ini juga memakan biaya bukan? Maksud Tejo, menambah pengeluaran. Setiap waktu harus memiliki desinfektan, harus membawa hand sanitizer, lalu sekarang harus selalu mengganti baju jika dari luar rumah. Padahal terkadang baju itu baru saja di pakai sebentar.

***

Keesokan paginya, sejak subuh Suti telah berkutat di dapur. Dapur kecil mereka menjadi saksi, tangan mungil Suti yang selalu berusaha memenuhi kebutuhan gizi keluarga walau dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Terlebih akhir-akhir ini pemasukan semua orang memang sedang oleng di saat pandemi. Suti hanya bisa berdoa semoga pandemi ini lekas usai, supaya anaknya tidak hanya makan tahu tempe saja.

“Neng, ini hasil kerja kemarin,” ucap Tejo dengan nada penyesalan. Iya, Tejo merasa bersalah karena selama beberapa minggu ini membawa uang yang semakin berkurang dari jumlah biasanya. Ini bukan maunya, sayangnya memang begini keadaannya.

“Terima kasih bang, semoga cukup sampai pekan depan ya.” Suti berusaha tersenyum, walau hatinya terasa hangat, ada buliran bening yang hendak keluar dari indera penglihatannya.

“Iya, maaf ya, neng. Kerjaan semakin sepi. Beberapa teman kerjaku kemarin sudah mulai ada yang dirumahkan. Bos bilang jika kondisi ini berkepanjangan, bisa-bisa semua dirumahkan juga.” Berat hati Tejo mengabarkan kondisinya. 

Tejo memang hanya seorang pekerja pabrik kecil yang hanya mendapat upah mingguan. Tidak ada tunjangan ini itu seperti pabrik pada umumnya. Sebelum pandemi saja keuangan keluarga Tejo dan Suti sering morat-marit. Apalagi sekarang? 

Sepulang dari pabrik, kadang Tejo ikutan mangkal sebagai tukang ojek. Namun, dengan kondisi sekarang, banyak orang yang bekerja dari rumah. Jalanan tiba-tiba saja menjadi sepi. Kegiatan di luar rumah serba terbatas. 

“Bang, udah cepetan sarapan!” Suti membuyarkan lamunan suaminya.

“Iya, kopi buat ku mana?” celingak-celinguk Tejo mencari cangkir berisi minuman hitam pekat itu.

“Bang, mulai sekarang ganti ya minumannya dengan yang sehat.” Suti menyodorkan cangkir putih. Isinya seperti teh.

“Kemarin ibu-ibu pada ngomong, ramuan penangkal korona itu empon-empon. Ya udah aku bikinkan buat abang deh,” kata Suti sambil tersenyum.

Tejo meraih cangkir putih di atas meja makan kecil itu. Ia mencoba menyesapnya perlahan. 

“Huahhh, kok rasanya begini? aneh.” Tejo merasa tidak suka dengan minuman yang diberikan Suti.

Uhuk, uhuk.

Tenggorokan Tejo terasa gatal. 

Tiba-tiba Suti menjauh dan memandang suaminya dengan tatapan yang tak dapat diartikan.

“Bang, kemarin selama di tempat kerja pakai masker nggak? jajan sembarangan? atau duduknya deket-deketan sama temen abang?” suara Suti terdengar tanpa jeda.

Tinggalkan komentar